Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 April 2017

Hak Seorang Guru Dari Siswanya

Suasana Kelas
Ngelmu.id - Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para pemegang kemulian ilmu agama. Tinggi kedudukan seorang Guru di hadapan Sang Pencipta.

Menurut DR. Umar As-Sufyani Hafidzohullah mengatakan, �Jika seorang siswa berakhlak buruk kepada Gurunya maka akan menimbulkan dampak yang buruk pula,  hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu semua contoh dari dampak buruk.� Pesan Rasulullah Shallallahu�alaihi Wasallam. Beliau bersabda,

?????? ?? ?? ????????? ? ???? ??????? ???? ??????????
�Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama� (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).

Suasana Kelas

Di antara hak seorang Guru dari siswanya adalah:
1.        Tidak meninggalkan kelas atau majelisnya kecuali dengan seizinnya.
2.        Para Guru bukan malaikat, mereka tetap berbuat kesalahan. Tidak mencari cari kesalahannya dan menutupi aib-aibnya.
3.       Jika menemukan sesuatu yang tidak berkenan darinya, maka nasihatilah ia dalam sepi, di waktu dan tempat yang tepat yang sekiranya tidak akan membuat malu dan sakit hatinya.
4.        Tidak membanding-bandingkannya dengan Guru yang lain. Tidak mendebatnya bila pendapatnya berbeda dengan Guru yang lain, dan tidak meminta sesuatu yang diberikan oleh Guru yang lain namun tidak atau belum diberikan oleh Gurumu.
5.         Bila ada yang mesti didiskusikan, maka diskusilah dengan baik dan menggunakan bahasa terbaik agar tidak menyinggung perasaannya.
6.     Tidak memaksanya untuk mengajar atau menyimak (hafalanmu) bila Gurumu sedang istirahat, lelah, atau sedang tidak berkenan.
7.  Tidak membangunkan Gurumu saat ia tertidur, atau membukakan pintu rumah dengan mengetuknya berulang-ulang, melainkan harus menunggunya dan menerima pelajaran di bawah keridhaan darinya.
8.     Diperbolehkan berdiri untuk menghormatinya, mencium tangannya, dan penghormatan lainnya selama tidak berlebihan dan tidak berujung pada pengkultusan.
9.       Menghormati Gurumu berarti mesti menghormati keluarganya, anak-anaknya, dan seluruh orang-orang yang dicintainya.
10.     Menyimaknya dengan sungguh-sungguh saat Guru memberikan ilmunya.
11.  Kedudukan Gurumu dalam ilmu sama seperti orangtuamu dalam kehidupan dunia, bahkan kedudukannya lebih tinggi lagi. Maka penghormatan yang engkau berikan kepada orangtua mesti engkau berikan juga kepada Gurumu.
12.     Senantiasa mendoakannya agar ia berada dalam kebaikan dan keberkahan dan agar ilmunya bisa membawa manfaat bagi umat, khususnya bagi kita selaku siswanya.
13.    Orang yang mengajarkan satu huruf kepadamu adalah Gurumu, maka hormatilah ia. Karena satu huruf yang diajarkan kepadamu lebih besar nilainya daripada 1000 dirham yang engkau berikan kepadanya.

Suasana Kelas dengan Guru
Peran Guru begitu besar untuk memberikan ilmu untuk bekal masa depan para siswanya. Oleh karena itu sangat pantas mereka mendapat penghormatan dari siswa-siswanya. Guru bagaikan mengalirkan samudera ilmu di atas bumi yang tandus, dan membuat bumi jadi subur, dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan hijau, sehingga menghasilkan buah-buahan yang matang.

Suasana Kelas dengan Guru
Siswa hendaklah menghormati, memuliakan dan mengagungkannya karena Allah, dan berupaya menyenangkan hati Guru dengan cara yang baik. Siswa juga mesti bersikap sopan dan mencintai Guru karena Allah, selektif dalam bertanya, serta tidak berbicara kecuali setelah mendapat perkenan dari Guru. Jika siswa melakukan kesalahan kepada Guru, maka segera mengakuinya dan meminta maaf  kepada Guru.

Sabtu, 29 April 2017

Peran Adik Menghancurkan Ahok Lewat Pledoi "Islam Sontoloyo"

Ngelmu.id - FIFI Lety Indra, adik biologis Ahok, yang masuk dalam tim penasihat hukum Basuki Tjahaya Purnama (BTP), malah memberi efek negatif kepada nama baik sang kakak dan upaya pembelaan hukum terhadapnya.

Bayangkan, pengacara muda tak berpengalaman bersandingan dengan nama-nama besar pengacara senior seperti Trimoelja D. Soerjadi, Humphrey R. Djemat, Sirra Prayuna, Teguh Samudera, I Wayan Sudirta, dan nama lainnya, tetapi lagaknya melebihi advokat sekelas almarhum Adnan Buyung Nasution.

Suara sumbang mengenai Fifi menyeruak. Tim penasihat hukum yang terlihat begitu solid itu, sebenarnya menyimpan bara di dalamnya. Konon, beberapa orang penasihat hukum menyatakan ingin keluar dari tim pensihat hukum BTP karena tersinggung dengan sikap Fifi.q!

Ada apa dengan Fifi? Tingkah apa yang dibuat Fifi, sehingga membuat tim penasihat hukum Ahok menjadi terpecah? Lantas mengapa bisa ada kemungkinan Fifi sendiri yang akan menghancurkan Ahok?

Menurut sumber, Fifi kerap kali blunder, baik terkait pernyataan di media massa maupun sikapnya yang cenderung angkuh. Fifi kerap kali tidak bisa membedakan posisinya sebagai tim penasihat hukum atau sebagai adik Ahok. Fifi juga tidak paham dengan konstelasi dan perkembangan yang terjadi di luar. Fifi pun tidak menghormati pengacara-pengacara yang lebih senior. Dalam beberapa sidang, Fifi sering ditegur hakim karena pertanyan-pertanyaannya yang tidak substantif.
Dan terakhir, mungkin yang paling parah, Fifi adalah orang di balik Pledoi "Ikan Nemo".

Masih ingatkah ketika Fifi membuat pernyataan heboh "Al-Quran diturunkan oleh Nabi Muhammad SAW"? Sebuah pernyataan yang sesungguhnya masuk delik penodaan agama lebih berat dari delik kakaknya. Namun sayang, ACTA mencabut gugatannya karena lebih fokus ke Ahok.

Sikap otoriter Fifi membuat harmonisasi tim BTP menjadi retak. Bahkan, dalam setiap sidang, Fifi membatasi tim pengacara yang bertanya dan tidak segan menghentikan pertanyaan itu kalau tidak sreg dengan pemikirannya. Padahal, menurut keterangan, beberapa pihak pengacara yang tergabung dalam penasihat hukum BTP free of charge alias tidak dibayar. Para pensihat hukum dengan sukarela membela Ahok. Namun pribahasa air susu di balas air tuba.

Anehnya, sang Kakak (Ahok) sangat menuruti langkah-langkah yang diambil oleh adiknya itu. Ada apa? Lantas apa hubungannya dengan pledoi "Ikan Nemo" yang dibacakan Ahok?

Coba perhatikan lebih cermat pledoi yang dibacakan Ahok, Selasa (25/4) lalu. Pasti ada yang aneh. Pledoi yang diberi judul "Melayani Walau Difitnah", jauh dari kata menarik. Isinya sangat datar, tidak substantif dan tidak menggambarkan pokok persoalan yang dibahas di persidangan.

Bandingkan dengan eksepsi yang dibacakan Ahok di awal-awal persidangan dulu; begitu dalam, berisi, komprehensif serta menggugah orang-orang yang hadir di persidangan maupun pemirsa yang menonton tayangan ulang karena sidang sendiri di awal-awal tertutup.

Ahok pun ketika membacakan eksepsi sampai menitikkan air mata. Begitupun sebagian pengunjung yang mendengarkan langsung eksepsi tersebut. Selain menggambarkan kondisi riil, Ahok juga menceritakan pengalamannya di Belitung ketika maju Pilgub waktu itu. Ahok di hajar habis-habisan oleh isu-isu agama yang dihembuskan para politisi yang tidak siap bertarung secara program. Namun, Ahok dibesarkan oleh pandangan almarhum Gus Dur terkait referensi agama dan poitik.

Sementara dalam pledoi kemarin, Ahok seakan mengkerdilkan dirinya sendiri. Mengibaratkan Ahok dengan �Finding Nemo� sekuel film animasi anak-anak seperti kehilangan contoh konkret. Masak, Ahok dibandingkan dengan tokoh fiktif. Argumentasi Nemo, ikan kecil yang berani melawan arus sama seperti Ahok sekarang, buat saya itu out of context . Nemo si Ikan kecil, kalau dibahas lebih jauh, setelah terpisah dari bapaknya justru dalam beberapa kesempatan tidak melawan arus. Bahkan si Nemo dalam beberapa kesempatan se-arus dan bergaul dengan macam-macam ikan, baik yang kecil dan besar, yang beracun dan yang tidak. Apakah Ahok bergaul dengan koruptor atau ikan beracun?!

Yang bikin geger dan tidak diketahui publik, yaitu perkara sensitif yang satu ini. Fifi bersikeras memasukkan referensi Islam Sontoloyo yang pernah disampaikan Bung Karno di tahun 1940-an. Dan, ajaibnya, itu di-aminkan saja oleh sang kakak.

Pemikiran Islam Sontoloyo yang dikemukakan oleh Bung Karno itu tentu berbeda konteks dengan persoalan Ahok sekarang ini. Bung Karno saat itu adalah penguasa dan menyampaikan gagasan keagamaan berdasarkan referensi pribadi sebagai pribadi muslim dan pergaulannya di pergerakan aktivis saat itu. Perlu diingat, Soekarno adalah salah satu murid HOS Tjokroaminoto yang adalah pendiri Partai Sarikat Islam (PSI). Soekarno berguru kepada Tjokro bersama Kartosuwiryo yang kemudian hari menjadi pencetus negara Islam DI/TII.

Islam Sontoloyo menurut paham Bung Karno waktu itu yaitu Royal Mencap Kafir, Taklid Buta, Mengutamakan Fikih, Tak Melek Sejarah, dan terakhir Hadis Lemah sebagai Pedoman.
Sementara Fifi, asal jiplak referensi Islam Sontoloyo itu dalam pledoinya itu.

Tim penasihat hukum BTP pun memanas. Yang mereka inginkan, pledoi-pledoi yang sudah dibuat saling memperkuat bukan malah sebaliknya. Pada akhirnya pledoi Fifi pun tetap dipakai, namun "Islam Sontoloyo" sudah dihilangkan. Tim penasihat hukum BTP bekerja keras menghindari masalah dan eskalasi yang lebih besar.

Bagaimana jadinya kalau Islam Sontoloyo masuk dalam pledoi yang dibacakan Ahok? Apa enggak chaos negeri ini? Sangat membahayakan kebhinnekaan bangsa dan juga pemerintahan Jokowi itu sendiri. Bahasa keras sudah dinyatakan oleh Amin Rais, "Jika Ahok Bebas, Jokowi Finish".  
Orang tipikal Fifi akan membusungkan dada mengklaim keberhasilan tim sebagai keberhasilan dirinya. Sebaliknya, akan melemparkan masalah kepada tim jika tujuannya tidak tercapai.

Sudah seyoganya orang seperti ini tidak pantas menjadi penasihat hukum BTP, walaupun secara fakta dia adalah adiknya. Peran Fifi justru akan menghancurkan Ahok, bukan menyelamatkan Ahok.

Wallahualam bis Shawab

Pemerhati Hukum

Sumber: Rmol.co

Jumat, 28 April 2017

Walikota Bandung Ridwan Kamil dan Ahok Effect

Oleh Hersubeno Arief*

Ngelmu.id - Dalam sebulan terakhir kesibukan Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) meningkat tajam. Selain aktivitas kesehariannya mengurus warga kota kembang, setiap akhir pekan RK melakukan safari ke berbagai kota/kabupaten di Jawa Barat.

Selain bertemu para tokoh, kyai, alim ulama, kegiatan utama RK adalah meresmikan tim relawan Baraya Ridwan Kamil (Barka). Baraya,  saudara atau kerabat dalam bahasa Sunda ini akan menjadi tulang punggung tim sukses RK yang maju ke Pilgub Jabar 2018. Kira-kira tugas mereka sama seperti Teman Ahok. Bedanya sudah ada partai yang menyatakan kesediaannya mendukung RK.

Sejak mendeklarasikan diri sebagai Cagub Jabar sebulan lalu (17/3) RK langsung tancap gas. Berkejaran dengan waktu, karena Pilkada Jabar 2018 akan digelar pada bulan Juni. Artinya tinggal 14 bulan lagi waktu yang tersisa. Bukan waktu yang panjang.

Modal awal dukungan dari Partai Nasdem membuat dia sangat pede. Apalagi ada survei yang menyatakan tingkat popularitas dan elektabilitasnya paling tinggi dibandingkan dengan kandidat potensial lainnya seperti  Wagub Deddy Mizwar maupun mantan Wagub Dede Yusuf.

Bagaimana kira-kira nasib pencalonan RK. Bisakah dia mewujudkan niatnya menjadi orang No 1 di Jabar?  Mari kita telaah fakta-fakta berikut.

Entah secara kebetulan atau tidak, perjalanan karir RK rada mirip-mirip Ahok. Mereka diketahui juga berteman cukup baik.

Pertama, kandidat non partai. Kedua, meninggalkan partai pendukung. Ketiga, pandai memanfaatkan sosial media. Keempat,  dideklarasikan pertama kali oleh Partai Nasdem.

Kandidat non partai

RK maju dalam Pilkada Kota Bandung 2014 dengan diusung oleh  PKS dan Gerindra. Ketika itu PKS baru saja memenangkan Pilkada Jabar dan mesin politiknya masih panas. Hanya saja mereka tidak punya figur yang kuat, lalu muncullah nama RK seorang arsitek perencanaan kota. Perpaduan antara figur muda, mesin politik PKS yang kuat dan keinginan warga Bandung mencari  figur baru, membuat RK memenangkan kursi  Bandung 1.

Jangan lupa faktor  Ahmad Heryawan (Kang Aher) dan Prabowo Subianto memberi andil yang sangat kuat dalam kemenangan RK. Kang   Aher baru saja terpilih menjadi Gubernur Jabar untuk periode kedua. Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra adalah salah satu kandidat terkuat Pilpres 2104.

Perpaduan Islam dan nasionalis yang sangat pas dan kuat. Keduanya menjadi endorser yang sempurna bagi RK.

Sampai di sini yang perlu dicatat, RK dan Ahok sama-sama tokoh non partai yang diusung sebagai kandidat. Hanya bedanya RK tidak menjadi kader PKS ataupun Gerindra. Sementara Ahok menjadi kader Gerindra.

Meninggalkan partai pendukung

Tak lama setelah terpilih sudah terlihat gelagat RK mulai meninggalkan partai pendukungnya. Dalam berbagai kesempatan RK selalu mencoba menegaskan bahwa dirinya adalah figur independen. Kesannya dia ingin menghapus jejak dan bayang-bayang PKS dan Gerindra. Tidak seperti Ahok, RK tidak perlu keluar dari partai karena memang tidak pernah secara resmi menjadi anggota. Sementara Ahok memutuskan keluar dari Gerindra ketika berbeda sikap dalam soal sistem pilkada langsung menjadi kembali ke DPRD.

Renggangnya RK dengan pendukungnya terutama PKS,  sesungguhnya sudah terasa pada saat kampanye. RK dinilai banyak tidak memenuhi komitmennya dan bermain sendiri. Hanya saja anggota PKS adalah tipe kader yang loyal kepada apapun keputusan partai.

Jadi walaupun kecewa dengan RK mereka tetap bekerja keras dan ikhlas mensukseskan pencalonan RK yang dipasangkan dengan Ketua DPD PKS Kota Bandung Oded M Danial. Mereka secara militan melakukan kampanye door to door, direct selling bahkan dengan modal dari kantong sendiri.

Pandai memanfaatkan media sosial.

Setelah dilantik figur RK yang muda dan pandai memanfaatkan media sosial menjadi udara segar bagi Kota Bandung. Seperti Ahok, RK juga rajin meng-upload berbagai kegiatannya di youtube dan berinteraksi dengan warga melalui berbagai platform medsos antara lain twitter. Dalam bahasa anak muda Bandung, aing pisan, gua banget.

RK menjadi bintang baru di dunia maya dan digadang-gadang akan menjadi pemimpin masa depan Jabar, bahkan Indonesia.

Didukung oleh Nasdem

Persamaan lain antara Ahok dengan RK adalah Nasdem yang menjadi partai pertama mendukungnya. Bedanya dengan Ahok,  Nasdem mendukung tanpa syarat. Sementara pada RK, Nasdem mengajukan tiga syarat. Pertama, RK harus menjadikan Jabar sebagai benteng Pancasila. Kedua, tidak menjadi anggota parpol. Ketiga, mendukung pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019.

Ketiga syarat itu diterima secara mutlak oleh RK. Entah apa kalkulasi politiknya, tetapi langkah RK bisa dipastikan telah menjadi blunder besar, apalagi bila dikaitkan dengan Ahok Effect dan hasil Pilkada 2017.

Ahok Effect memberi dampak negatif bagi partai-partai pendukungnya. Meminjam istilah yang dikenalkan oleh Presiden Bush untuk membuat batas demarkasi dan menakut-nakuti musuhnya dalam Perang Irak, you are either with us or with enemy. Tinggal pilih mau bareng gua, atau bareng musuh!

Sejumlah survei menyebutkan, walau tetap diperingkat atas, tapi suara PDIP jauh menurun. Partai-partai Islam seperti PPP dan PKB porak poranda. Masih untung bagi PKB yang punya basis pendukung di Jatim. Itupun sudah rontok sebagian. Sebaliknya dua sejoli Gerindra dan PKS menjadi partai yang perkasa dan mendulang simpati publik yang tinggi.

Dengan dampak Ahok Effect yang sangat merusak, agaknya pilihan waras bagi partai-partai Islam menghindar jauh-jauh dari RK, bila mereka tak mau terpuruk lebih dalam. Yang paling mungkin bergabung dengan Nasdem adalah PDIP.

Bila PDIP bergabung dengan Nasdem dan kemungkinan ditambah Hanura, maka lengkap sudah posisi RK with enemy. Formasi ini akan dengan mudah mengingatkan publik Jabar dengan partai pendukung Ahok di Jakarta. Jadi siapapun lawan RK akan dengan mudah mengkapitalisasi memori pemilih di Jabar yang mempunyai sentimen negatif yang kuat terhadap Ahok.

Luka PDIP yang menganga

Bagi PDIP,  Jabar adalah medan yang berat. Luka mereka masih menganga akibat kekalahan dalam Pilkada 2013. Luka PDIP makin menganga lebar setelah mereka kalah di dua pilkada penting, Banten dan Jakarta. Ibarat pasukan tempur, mereka adalah pasukan yang kalah dalam dua medan pertempuran besar.

Pasukan yang kalah dan terluka itu masih harus berjuang keras mengatasi luka parah, baik secara fisik maupun psikis. Belum lagi bila bicara soal amunisi dan logistik untuk pertempuran. Semuanya terkuras. Yang cukup menyedihkan pasukan inilah yang paling berpeluang besar direkrut oleh RK.

Agak sulit membayangkan dan bisa dikatakan sebagai hil yang mustahal, Gerindra dan PKS akan mendukung RK. Gerindra sudah pasti sangat membenci syarat ketiga, berupa dukungan kepada Jokowi dalam pencapresan 2019. Bagaimanapun kekalahan pada Pilpres 2014, tidak membuat Prabowo surut. Mentalitasnya sebagai pasukan komando menjadikan dia ulet, tahan banting dan tak kenal menyerah.

Mentalitas pasukan komando yang memilih �lebih baik mati dalam pertempuran, daripada gagal dalam menjalankan tugas,� pasti sangat dijiwai oleh Prabowo. Lagi pula toh dia belum mati. Dia hanya kalah dalam satu medan tempur (Pilpres 2014) dan menang dalam medan tempur lainnya (Pilkada DKI 2017).

Prabowo pasti menginginkan memenangkan kembali berbagai pertempuran lain (Pilkada serentak 2018), sebelum kembali maju dalam perang pamungkas Pilpres 2019. Persaingan Prabowo-Jokowi pada 2019 akan menjadi medan Perang Kurusetra, ketika pasukan Pandawa berhadapan dengan Astina/Kurawa.

PKS juga hampir dipastikan tidak akan mendukung RK. Hubungan yang kurang harmonis dan sikap RK yang �tidak tahu berterima kasih� bakal menjadi ganjalan besar. Lagi pula salah satu syarat yang diajukan Nasdem adalah menjadikan Jabar sebagai Benteng Pancasila.

Syarat apa pula ini? Apakah selama Kang Aher menjadi Gubernur, Jawa Barat menjadi daerah yang anti Pancasila?. Anti NKRI? Tidak Bhineka? Atau  Jabar menjadi daerah yang memberlakukan syariat Islam? Semua itu mengingatkan PKS dan umat Islam pada hantu yang diciptakan oleh para Ahoker untuk menstigma dan sekaligus menakut-nakuti pemilih yang akan mendukung Anies-Sandi.

Selama hampir dua periode menjabat, Aher menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah yang maju dengan se-abreg penghargaan. Bulan ini saja Provinsi Jabar mendapat penghargaan dari Depdagri sebagai provinsi dengan kinerja terbaik.

Stigma buruk yang coba disematkan melalui syarat Benteng Pancasila tadi pasti sangat menyakitkan Kang Aher sebagai pribadi maupun PKS sebagai partai. Kang Aher adalah gubernur yang sangat dibanggakan oleh PKS dan umat Islam Jabar.

Oleh warga Sunda, dia juga digadang-gadang sebagai calon pemimpin nasional. Maklum sebagai etnis kedua terbesar setelah Jawa, peran etnis Sunda dikancah nasional, relatif minim. Jadi mereka butuh tokoh yang menjadi representasinya. Saat ini Kang Aher adalah pilihan yang bisa menyatukan berbagai kepentingan di kalangan etnis Sunda.

Yang paling masuk akal bagi PKS adalah mendorong Wagub Deddy Mizwar (Kang Demiz) untuk maju, dipasangkan dengan kader mereka. Bila PKS yang meng-endorse rasanya Gerindra juga akan langsung mengamini. Kang Demiz adalah sosok calon yang memenuhi semua syarat. Sebagai seniman kaliber kakap, dia punya level pergaulan nasional dan mempunyai teman dari berbagai golongan, lintas agama, lintas partai.

Bagi umat Islam Indonesia dan Jabar khususnya, Kang Demiz juga akan selalu dikenang dengan pidatonya yang menggetarkan sukma ketika ber-orasi di depan Mujahidin asal Jabar yang akan berangkat ke Jakarta mengikuti Aksi Bela Islam (ABI). Dia berani tampil membela, menafikan kedekatannya dengan Ahok dan Jokowi ketika Islam dinistakan.

Dengan konstelasi seperti itu akan berat bagi RK untuk melangkah. Ahok effect akan memberi dampak perlawanan yang sulit dikalkulasikan. Jangan lupa pada waktu ABI III Jabar melalui para santri dari Ciamis telah memberi kontribusi yang luar biasa terhadap kebangkitan semangat umat Islam seluruh Indonesia.

Dengan aksi long march-nya mereka menerobos barikade dan represi petugas kepolisian. Aksi santri yang sebagian berusia remaja, bahkan ada yang anak-anak itu memberi inspirasi dan energi yang menggerakkan gelombang jutaan manusia, berbondong-bondong mengubah lapangan Monas dan sekitarnya menjadi lautan putih. Mereka pasti tidak akan tinggal diam.

Jalan kaki dari Ciamis-Jakarta sepanjang 370 km saja hanya soal kecil bagi mereka, apalagi cuma long march dari Ciamis-Bandung. Itu mah sudah jadi menu sarapan pagi.

Bagi RK Pilgub Jabar akan menjadi medan pertempuran berat. Jabar bukanlah Bandung. Dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dengan wilayah yang juga luas, Jabar adalah lautan, samudera dengan gelombang yang ganas.

PKS-Gerindra kapal yang lengkap dengan awak plus logistiknya yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu di Bandung, ditinggalkan begitu saja. Dia melompat ke kapal lain yang tengah diamuk gelombang pasang.

Bila tidak pandai-pandai meniti gelombang, kapal akan tenggelam dan dia ikut tenggelam bersamanya. Kecuali bila dia bisa menyiapkan sekoci penyelamat.

Orang bijak mengajarkan kepada kita sebuah petuah �If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.� RK tampaknya ingin pergi cepat  meninggalkan jabatan sebagai Walikota Bandung yang baru akan berakhir pada September 2019,  mengejar jabatan gubernur yang lebih menggiurkan. Karena itu dia memutuskan untuk pergi seorang diri.

*Konsultan Media dan Politik

Bangga Yang Keliru

Oleh Widi Pramono*
Foto: Rappler Indonesia

Ngelmu.id - Kemarin ada berita bahwa simpang susun semanggi yang baru sudah tersambung. Progres Simpang susun yang memiliki bentang beton melingkar sepanjang 80 m dengan biaya Rp345 milyar itu pekerjaannya lebih cepat 3 bulan dari jadwal. Simpang susun baru ini diharapkan mampu mengurangi kemacetan di sekitar semanggi.

Sudah sering dibahas bahwa  simpang susun semanggi ini dibiayai oleh PT Mitra Panca Persada yang merupakan anak perusahaan dari Mori building limited Jepang sebagai bagian dari kompensasi karena perusahaan tersebut kelebihan koefisien luas bangunan. Arti sederhananya adalah perusahaan pengembang membangun melebihi ijin yang diberikan sehingga dihukum untuk membayar denda.

Namun ada yang mengganggu dalam beberapa berita terkait simpang susun semanggi yang baru tersebut. Klaim yang paling mengganggu adalah bahwa simpang susun semanggi itu tidak menggunakan uang APBD sehingga tidak membebani masyarakat jakarta.

Benarkah demikian?

Mungkin yang mengklaim menganggap bahwa itu adalah Corporate Social Responsibility (CSR).
Jelas keliru, denda karena melebihi koefisien  luas bangunan itu bukan CSR. Denda itu adalah sanksi yang harus dibayar karena pengembang melanggar. Jika tidak dibayar maka bangunan bakal disegel alias tidak bisa digunakan.

Lalu kemana semestinya denda itu dibayarkan? Denda itu semestinya dibayarkan ke kas Pemda dan menjadi pendapatan pemda DKI.

Jika pengembang membayar dengan membiayai simpang susun semanggi, maka sebenarnya itu adalah uang Pemda bukan uang pengembang.  Jelas sekali hal itu bukan merupakan sumbangan atau CSR. Jadi mengklaim tidak membebani warga jakarta dan tidak membebani APBD sebenarnya adalah (maaf) pemikiran dangkal.

Tidak ada di APBD bukan berarti tidak dibiayai oleh uang rakyat. Ini uang rakyat yang belum masuk ke APBD yang "dibajak" di tengah jalan lalu digunakan untuk keperluan yang tidak dibiayai oleh APBD.

Tapi pembangunan itu khan itu untuk keperluan umum?

Ok itu bisa saja dianggap untuk keperluan umum dan tujuannya baik.

Pertanyaannya adalah pantaskah mengerjakan sesuatu yang dianggap baik dengan cara-cara yang tidak baik? Jika memang dianggap baik mengapa tidak diusulkan dalam APBD sehingga semua transparan dan akuntabel?

Wah kalo nanti lewat APBD bisa dicoret DPRD, lama. Nanti dibuat "bancaan" jika lewat APBD seperti kasus UPS.

Mungkin DPRD dianggap bermasalah, tetapi untuk pembangunan infrastruktur lain bisa kok dapat persetujuan DPRD, mulai dari jalan layang non tol khusus busway, fly over maupun underpass.

Jika DPRD dianggap tidak kooperatif tinggal ungkap kepada masyarakat agar dapat sanksi sosial, bukan dengan cara membajak uang yang seharusnya masuk ke kas pemda.

Kita harus menghentikan cara-cara seperti ini. Sebaiknya tidak bangga saat melakukan kekeliruan.

Kasus seperti ini sebenarnya bukan yang pertama di Jakarta.

Saat gubernur Sutiyoso dulupun pernah terjadi klaim yang keliru seperti ini yaitu saat renovasi bunderan HI. Saat itu pemda DKI dengan bangga menyatakan bahwa pemda tidak mengeluarkan dana sepeserpun untuk renovasi bunderan HI senilai di atas Rp 100 milyar. Renovasi itu dilakukan oleh pihak swasta.

Masalahnya ternyata pihak swasta itu memperoleh imbalan berupa hak menguasai titik-titik reklame di sepanjang sudirman dan Thamrin. Sebelumnya titik-titik reklame itu dilelang dan menghasillan penerimaan bagi pemda senilai di atas Rp100 M.

Itu artinya sebenarnya pemda-lah yang membiayai renovasi tersebut.

Mari kita tetap waras.

*Ahli Keuangan Publik

Ridwan Kamil Tertular Derita Ahok Effect di Pilgub Jabar?

Oleh : Hersubeno Arief *

DALAM sebulan terakhir kesibukan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (RK) meningkat tajam. Selain aktivitas kesehariannya mengurus warga kota kembang, setiap akhir pekan RK melakukan safari ke berbagai kota/kabupaten di Jawa Barat (Jabar).

Selain bertemu para tokoh, kyai, alim ulama, kegiatan utama RK adalah meresmikan tim relawan Baraya Ridwan Kamil (Barka). Baraya, saudara atau kerabat dalam bahasa Sunda ini akan menjadi tulang punggung tim sukses RK yang maju ke Pilgub Jabar 2018. Kira-kira tugas mereka sama seperti Teman Ahok. Bedanya sudah ada partai yang menyatakan kesediaannya mendukung RK.

Sejak mendeklarasikan diri sebagai Cagub Jabar sebulan lalu (19/3), RK langsung tancap gas. Berkejaran dengan waktu, karena Pilkada Jabar 2018 akan digelar pada bulan Juni. Artinya tinggal 14 bulan lagi waktu yang tersisa. Bukan waktu yang panjang.

RK Didukung Nasdem dengan 3 Syarat.
Modal awal dukungan dari Partai Nasdem membuat dia sangat pede. Apalagi ada survei yang menyatakan tingkat popularitas dan elektabilitasnya paling tinggi dibandingkan dengan kandidat potensial lainnya seperti Wagub Deddy Mizwar maupun mantan Wagub Dede Yusuf.

Bagaimana kira-kira nasib pencalonan RK? Bisakah dia mewujudkan niatnya menjadi orang No 1 di Jabar? Mari kita telaah fakta-fakta berikut.

Entah secara kebetulan atau tidak, perjalanan karier RK rada mirip-mirip Ahok. Mereka diketahui juga berteman cukup baik. Pertama, kandidat non partai. Kedua, meninggalkan partai pendukung. Ketiga, pandai memanfaatkan media sosial (medsos). Keempat, dideklarasikan pertama kali oleh Partai Nasdem.

Kandidat non partai. RK maju dalam Pilkada Kota Bandung 2013 dengan diusung oleh PKS dan Gerindra. Ketika itu PKS baru saja memenangkan Pilkada Jabar dan mesin politiknya masih panas. Hanya saja mereka tidak punya figur yang kuat, lalu muncullah nama RK, seorang arsitek perencanaan kota. Perpaduan antara figur muda, mesin politik PKS yang kuat dan keinginan warga Bandung mencari figur baru, membuat RK memenangkan kursi Bandung 1.

Jangan lupa faktor Ahmad Heryawan (Kang Aher) dan Prabowo Subianto member andil yang sangat kuat dalam kemenangan RK. Kang Aher baru saja terpilih menjadi Gubernur Jabar untuk periode kedua. Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, adalah salah satu kandidat terkuat Pilpres 2104. Perpaduan Islam dan nasionalis yang sangat pas dan kuat. Keduanya menjadi endorser yang sempurna bagi RK.

Sampai di sini yang perlu dicatat, RK dan Ahok sama-sama tokoh non partai yang diusung sebagai kandidat. Hanya bedanya RK tidak menjadi kader PKS ataupun Gerindra. Sementara Ahok menjadi kader Gerindra.

Meninggalkan partai pendukung. Tak lama setelah terpilih sudah terlihat gelagat RK mulai meninggalkan partai pendukungnya. Dalam berbagai kesempatan RK selalu mencoba menegaskan bahwa dirinya adalah figur independen. Kesannya dia ingin menghapus jejak dan bayang-bayang PKS dan Gerindra. Tidak seperti Ahok, RK tidak perlu keluar dari partai, karena memang tidak pernah secara resmi menjadi anggota. Sementara Ahok memutuskan keluar dari Gerindra ketika berbeda sikap dalam soal sistem pilkada langsung menjadi kembali ke DPRD.

Renggangnya RK dengan pendukungnya terutama PKS, sesungguhnya sudah terasa pada saat kampanye. RK dinilai banyak tidak memenuhi komitmennya dan bermain sendiri. Hanya saja anggota PKS adalah tipe kader yang loyal kepada apapun keputusan partai. Jadi walaupun kecewa dengan RK mereka tetap bekerja keras dan ikhlas menyukseskan pencalonan RK yang dipasangkan dengan Ketua DPD PKS Kota Bandung Oded M Danial. Mereka secara militan melakukan kampanye door to door, direct selling,  bahkan dengan modal dari kantong sendiri.

Pandai memanfaatkan medsos

Setelah dilantik figur RK yang muda dan pandai memanfaatkan medsos menjadi udara segar bagi Kota Bandung. Seperti Ahok, RK juga rajin meng-upload berbagai kegiatannya di youtube dan berinteraksi dengan warga melalui berbagai platform medsos antara lain twitter. Dalam bahasa anak muda Bandung, aing pisan, gua banget. RK menjadi bintang baru di dunia maya dan digadang-gadang akan menjadi pemimpin masa depan Jabar, bahkan Indonesia.

Didukung oleh Nasdem. Persamaan lain antara Ahok dengan RK adalah Nasdem yang menjadi partai pertama mendukungnya. Bedanya dengan Ahok, Nasdem mendukung tanpa syarat. Sementara pada RK, Nasdem mengajukan tiga syarat. Pertama, RK harus menjadikan Jabar sebagai benteng Pancasila. Kedua, tidak menjadi anggota parpol. Ketiga, mendukung pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019.

Ketiga syarat itu diterima secara mutlak oleh RK. Entah apa kalkulasi politiknya, tetapi langkah RK bisa dipastikan telah menjadi blunder besar, apalagi bila dikaitkan dengan Ahok Effect dan hasil Pilkada 2017.

Ahok Effect memberi dampak negatif bagi partai-partai pendukungnya. Meminjam istilah yang dikenalkan oleh Presiden Bush untuk membuat batas demarkasi dan menakut-nakuti musuhnya dalam Perang Irak:  you are either with us or with enemy. Tinggal pilih mau bareng gua, atau bareng musuh!

Survei Elektabilitas Partai Politik April 2017
Sejumlah survei menyebutkan, walau tetap di peringkat atas, tapi suara PDI-P jauh menurun. Partai-partai Islam seperti PPP dan PKB porak poranda. Masih untung bagi PKB yang punya basis pendukung di Jatim. Itupun sudah rontok sebagian. Sebaliknya dua sejoli Gerindra dan PKS menjadi partai yang perkasa dan mendulang simpati publik yang tinggi.

Dengan dampak Ahok Effect yang sangat merusak, agaknya pilihan waras bagi partai-partai Islam menghindar jauh-jauh dari RK, bila mereka tak mau terpuruk lebih dalam. Yang paling mungkin bergabung dengan Nasdem adalah PDI-P.

Bila PDI-P bergabung dengan Nasdem dan kemungkinan ditambah Hanura, maka lengkap sudah posisi RK with enemy. Formasi ini akan dengan mudah mengingatkan publik Jabar dengan partai pendukung Ahok di Jakarta. Jadi siapapun lawan RK akan dengan mudah mengkapitalisasi memori pemilih di Jabar yang mempunyai sentimen negatif yang kuat terhadap Ahok.

Luka PDI-P yang Menganga

Bagi PDI-P, Jabar adalah medan yang berat. Luka mereka masih menganga akibat kekalahan dalam Pilkada 2013. Luka PDI-P makin menganga lebar setelah mereka kalah di dua pilkada penting, Banten dan Jakarta. Ibarat pasukan tempur, mereka adalah pasukan yang kalah dalam dua medan pertempuran besar. 

Pasukan yang kalah dan terluka itu masih harus berjuang keras mengatasi luka parah, baik secara fisik maupun psikis. Belum lagi bila bicara soal amunisi dan logistik untuk pertempuran. Semuanya terkuras. Yang cukup menyedihkan pasukan inilah yang paling berpeluang besar direkrut oleh RK.

Agak sulit membayangkan dan bisa dikatakan sebagai hil yang mustahal, Gerindra dan PKS akan mendukung RK. Gerindra sudah pasti sangat membenci syarat ketiga, berupa dukungan kepada Jokowi dalam pencapresan 2019. Bagaimanapun kekalahan pada Pilpres 2014, tidak membuat Prabowo surut. Mentalitasnya sebagai pasukan komando menjadikan dia ulet, tahan banting dan tak kenal menyerah.

Mentalitas pasukan komando yang memilih �lebih baik mati dalam pertempuran, daripada gagal dalam menjalankan tugas,� pasti sangat dijiwai oleh Prabowo. Lagi pula toh dia belum mati. Dia hanya kalah dalam satu medan tempur (Pilpres 2014) dan menang dalam medan tempur lainnya (Pilkada DKI 2017).

Prabowo pasti menginginkan memenangkan kembali berbagai pertempuran lain (Pilkada serentak 2018), sebelum kembali maju dalam perang pamungkas Pilpres 2019. Persaingan Prabowo-Jokowi pada 2019 akan menjadi medan Perang Kurusetra, ketika pasukan Pandawa berhadapan dengan Astina/Kurawa.

PKS juga hampir dipastikan tidak akan mendukung RK. Hubungan yang kurang harmonis dan sikap RK yang �tidak tahu berterima kasih� bakal menjadi ganjalan besar. Lagi pula salah satu syarat yang diajukan Nasdem adalah menjadikan Jabar sebagai Benteng Pancasila.

Syarat apa pula ini? Apakah selama Kang Aher menjadi gubernur, Jabar  menjadi daerah yang anti Pancasila?. Anti KRI? Tidak Bhineka? Atau Jabar menjadi daerah yang memberlakukan syariat Islam? Semua itu mengingatkan PKS dan umat Islam pada hantu yang diciptakan oleh para Ahoker untuk menstigma dan sekaligus menakut-nakuti pemilih yang akan mendukung Anies-Sandi.

Aher dan Pemprov Jabar mendapat penghargaan Prestasi Kinerja Tertinggi Pemerintahan Daerah
Selama hampir dua periode menjabat, Aher menjadikan Jabar sebagai wilayah yang maju dengan seabreg penghargaan. Bulan ini saja Provinsi Jabar mendapat penghargaan dari Depdagri sebagai provinsi dengan kinerja terbaik.

Stigma buruk yang coba disematkan melalui syarat Benteng Pancasila tadi pasti sangat menyakitkan Kang Aher sebagai pribadi maupun PKS sebagai partai. Kang Aher adalah gubernur yang sangat dibanggakan oleh PKS dan umat Islam Jabar.

Oleh warga Sunda, dia juga digadang-gadang sebagai calon pemimpin nasional. Maklum sebagai etnis kedua terbesar setelah Jawa, peran etnis Sunda di kancah nasional relatif minim. Jadi mereka butuh tokoh yang menjadi representasinya. Saat ini Kang Aher adalah pilihan yang bisa menyatukan berbagai kepentingan di kalangan etnis Sunda.

Yang paling masuk akal bagi PKS adalah mendorong Wagub Deddy Mizwar (Kang Demiz) untuk maju, dipasangkan dengan kader mereka. Bila PKS yang meng-endorse rasanya Gerindra juga akan langsung mengamini. Kang Demiz adalah sosok calon yang memenuhi semua syarat. Sebagai seniman kaliber kakap, dia punya level pergaulan nasional dan mempunyai teman dari berbagai golongan, lintas agama, lintas partai.

Deddy Mizwar saat menyambut peserta aksi bela Islam.
Bagi umat Islam Indonesia dan Jabar khususnya, Kang Demiz juga akan selalu dikenang dengan pidatonya yang menggetarkan sukma ketika berorasi di depan Mujahidin asal Jabar yang akan berangkat ke Jakarta mengikuti Aksi Bela Islam (ABI). Dia berani tampil membela, menafikan kedekatannya dengan Ahok dan Jokowi ketika Islam dinistakan.

Dengan konstelasi seperti itu akan berat bagi RK untuk melangkah. Ahok Effect akan memberi dampak perlawanan yang sulit dikalkulasikan. Jangan lupa pada waktu ABI III Jabar melalui para santri dari Ciamis telah memberi kontribusi yang luar biasa terhadap kebangkitan semangat umat Islam seluruh Indonesia.

Dengan aksi long march-nya mereka menerobos barikade dan represi petugas kepolisian. Aksi santri yang sebagian berusia remaja, bahkan ada yang anak-anak itu memberi inspirasi dan energi yang menggerakkan gelombang jutaan manusia, berbondong-bondong mengubah lapangan Monas dan sekitarnya menjadi lautan putih. Mereka pasti tidak akan tinggal diam.

Jalan kaki dari Ciamis-Jakarta sepanjang 370 Km saja hanya soal kecil bagi mereka, apalagi cuma long march dari Ciamis-Bandung. Itu mah sudah jadi menu sarapan pagi.

Bagi RK Pilgub Jabar akan menjadi medan pertempuran berat. Jabar bukanlah Bandung. Dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dengan wilayah yang juga luas, Jabar adalah lautan, samudera dengan gelombang yang ganas.

PKS-Gerindra kapal yang lengkap dengan awak plus logistiknya yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu di Bandung, ditinggalkan begitu saja. Dia melompat ke kapal lainyang tengah diamuk gelombang pasang. Bila tidak pandai-pandai meniti gelombang, kapal akan tenggelam dan dia ikut tenggelam bersamanya. Kecuali bila dia bisa menyiapkan sekoci penyelamat.

Orang bijak mengajarkan kepada kita sebuah petuah �If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.� RK tampaknya ingin pergi cepat meninggalkan jabatan sebagai Wali Kota Bandung yang baru akan berakhir pada September 2018, mengejar jabatan gubernur yang lebih menggiurkan. Karena itu dia memutuskan untuk pergi seorang diri.

(*) Penulis adalah Konsultan Media dan Politik

Cerita Dibalik Rencana Kemenangan Ahok-Djarot yang Gagal Total dan Tak Kunjung Move On

Kekalahan itu Pahit, Jendral, Wajar Jika Butuh Waktu Lama untuk Menerimanya

Oleh: Agi Betha
19 April 2017.

Sejak pagi ruang konperensi pers di Hotel Pullman, jalan Thamrin Jakarta, sudah usai berdandan. Ballroom yang menjadi Posko Pemenangan itu sudah dipesan hari sebelumnya.
Panggung dihias dengan kalimat KEMENANGAN.

Gambar bendera 6 partai pendukung Paslon nomor 2 berjejer rapi di bagian bawah spanduk yg lebar.
Lambang2 partai itu mengusung sebuah Tulisan warna hitam di atasnya: '#Ba2ukiDjarotMenang'. Sebuah perpaduan huruf dan angka warna hitam nan kontras yg tercetak di atas sebentang besar kain putih.
Tulisan itu dimaksudkan untuk menjadi Hashtag Kemenangan. Karena beberapa jam ke depan, bisa dipastikan hashtag #Ba2ukiDjarotMenang akan memuncaki Trending Topic Dunia di medsos.

Di atas 2 meja panjang bagian depan, telah digelar Taplak bermotif Kotak-Kotak berlipit indah. Disisinya berjejer rapi kursi-kursi yg akan diduduki Paslon Pemenang dan Para Ketua Partai Pengusung.
Motif taplak itu persis sama dng motif baju kotak-kotak, yg selama ini diyakini begitu lekat membawa Aura Kemenangan.

Di sudut-sudut ruang, Sound System telah siap membahanakan Pekik Kemenangan.

Semua membayangkan, Rumah Lembang yg kerap penuh dengan gelak tawa itu, tak akan ada apa2 nya dibandingkan dng suasana riuh gembira siang nanti.

Bagai halaman Rumah Pegangsaan yg legendaris itu, Ruang tempat akan diproklamasikannya Kemenangan Ahok-Djarot inipun, akan menjadi Saksi Sejarah sebuah Kemenangan Pilkada yg sangat mengharu-biru.
Sebuah Pertarungan yg menghabiskan tenaga, suara, sembako, sapi, dan kursi roda.

Betapa sebuah Kemenangan Pilkada rasa Pilpres telah di ambang mata.

Siang itu, di ruang itu, sebuah skenario yg rapi, rekaman pemandangan yg indah, dan rencana perayaan meriah, telah selesai dipersiapkan.

Tak jauh dari Hotel megah itu, hanya berjarak sepelemparan pandang, Bundaran Hotel Indonesia pun akan disesaki pemandangan kotak-kotak merah hitam.

Relawan yg diwawancarai stasiun televisi menyebutkan, ribuan manusia dari berbagai penjuru telah bersiap datang ke tempat itu. Transportasi dipesan. Atribut2 sudah di tangan. Spanduk siap untuk dibentangkan.

Ia mematangkan rencana untuk mengambil alih lokasi itu lebih dahulu, sebelum dikuasai oleh kubu lawan.
Rencana pihak lawan bahwa mereka akan menuju Monas dan memilih menyesaki shalat Maghrib berjamaah di Masjid Istiqlal jika jagoannya menang, rupanya tak terendus oleh mereka.

Memang Bundaran HI selama ini adalah kawasan demonstrasi yg strategis. Gambar2 yg direkam di sekeliling air mancur dan patung Selamat Datang yg tegas menjulang itu, selalu menakjubkan.

Apalagi ini Pilkada Jakarta. Rekaman Perayaan Kemenangannya akan terumbar hingga ke mancanegara.
Memenangi Bundaran HI berarti melengkapi Simbol2 Kejayaan.

Tak hanya di tengah kota Jakarta.

Di pulau-pulau yg bertebaran di Teluk Jakarta pun, Pesta Besar Kemenangan telah disiapkan.
Dua puluh tiga sapi besar nan sehat siap mengenyangkan perut-perut manusia di seberang lautan.

Kapal yg disewa khusus untuk mengangkut hewan2 bernilai ratusan juta di hari tenang itu, telah berangkat lebih dahulu.

Sapi2 itu melaju di atas keruhnya lumpur reklamasi dan kapal2 nelayan, tanpa menunggu lebih dulu datangnya hari pencoblosan, maupun menanti selesainya penghitungan suara.

Toh pekik Juara sudah di sudut bibir, harumnya aroma Angka hitung cepat telah tercium, dan gempita Kemenangan sudah di pelupuk mata.

AKHIRNYA, sampailah semua di hari Rabu yang pongah.

Detik demi detik terlalui. Menit demi menit terlampaui, dan jam pun terlewati.
Dan begitulaah...

Cerita berakhir jauh dari harapan.
Mata-mata nanar menatap layar kaca. Hati remuk redam dilanda kegundahan.
Gelap dan kelam.

Kenyataan itu datang bersama sore.
Galau, gulana, dan rasa terhempas mewarnai senja.

Gulita bergayut merata di Pullman, di pancuran HI, di pulau-pulau, di sudut-sudut kota, dan di pelosok-pelosok hati.

Timses ahli merencanakan.
Rakyat cerdas memutuskan.
Dan Tuhan Yang Maha Menentukan.
Hari ini,

terhitung hari Hisab di bawah langit Jakarta itu sudah berlalu sekian hari. Tapi mendung masih menggelayut di sebagian hati warga Jakarta.

Tanpa disadari, kadang proses Pilkada menjadi cerminan watak dan nafsu tentang bagaimana kekuasaan kelak akan dijalankan. Cara kampanye yg brutal dan politik uang menjadi barometer keserakahan.

Sebagian yg bijaksana mengatakan, manusia hanya memanen apa yg dia tanam. Dan setiap dari kita akan Dipaksa mengunduh apapun hasil dari perbuatan.

Memang betul. Merencanakan sebuah Pesta KEMENANGAN itu lebih mudah. Bahkan seolah jadi Keharusan. PADAHAL KEKALAHAN LAH YANG HARUSNYA LEBIH DIPERSIAPKAN.

*Mupon... mupon!

Seringkali nasehat itu seolah hanya berlaku untuk orang lain.

Tak terbayangkan sebelumnya jika kata-kata yg mudah meluncur dari bibir kotak-kotak itu, bahkan tidak pernah pergi kemana-mana. Karena nasehat itu ternyata diperlukan untuk mengobati perih di diri mereka sendiri.
Jadii..

Tak perlu lagi kita sarankan Mupon. Toh kata berbalut canda itu tengah mereka nikmati. Lebih baik kita semua berdoa untuk keselamatan negeri.

Seperti kalimat pepatah-petitih nan bijak, "Pain comes with time.. but Time will heal the pain."
Semoga sang Waktu akan menyembuhkan luka-luka itu.

Semoga rangkaian kalimat di papan-papan itu bisa memulihkan lara yang terlanjur merobek jiwa.
Semoga Ribuan Bunga-Bunga dapat mendamaikan hati yang terlanjur menganga.

TIME WILL DO THE MUPON.
PERCAYALAH...

 ?????????

Kamis, 27 April 2017

Parade Kegagalan Di Balaikota

Oleh: Zeng Wei Jian

Ngelmu.id - BAGAIKAN Mafia Don yang mati, Ahok dikirimi karangan bunga. Seribuan karangan dari "kami yang gagal move on" penuhi Balai Kota.

Sebuah parade kegagalan. Unjuk ketololan. Pamer paralogis. Dan arogansi akbar. Bakal jadi sampah beberapa hari lagi. Nggak mengubah apapun. Ahok tumbang. Anies Sandi menang pilgub. Angkanya mutlak, dua digit.

Bila 1 karangan bunga berbudget 800 ribu, maka budgetnya jadi 800 juta. Hanya untuk karangan bunga. Sebuah kesia-siaan absolut.

Para korban penggusuran Pasar Ikan masih terlunta-lunta. Hidup di atas puing. Sudah setahun. Jumlahnya ratusan KK. Mereka miskin mendadak pasca digusur Ahok.

Maret 2016, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 384.300 orang atau 3,75 persen. Artinya ada peningkatan sebesar 15.630 orang dari tahun 2015. Ahok ngapain aja. Ini dihitung berdasarkan income Rp 510.359 per bulan. Bila pake standar income 1 juta per bulan maka angka akan lebih besar.

Sementara penduduk miskin di Jakarta segitu banyak. Ahok warisi sejuta masalah. Anak putus sekolah, pengangguran, polusi, sanitasi buruk, ancaman banjir. Ahoker bergaya kirim karangan bunga galau kepada gubernur gagal Ahok.

Gaya hidup macam begini ngga bikin simpatik. Nambah 1 iota simpati pun tidak. Para pendukung Ahok tidak sensitif sosial. Menurut Oxfam, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia (pasti taipan nih) setara dengan kekayaan 100 juta rakyat. Di Jakarta saja, masih ada orang hidup di bawah kolong tol.

Jadi, ngga heran bila Ahok dan pendukungnya tidak disukai publik. Malah ada banyak netizen menulis: Usir Ahok.

Rabu, 26 April 2017

Tulisan Eep Saefullah ini Bikin Pendukung Ahokers Makin Kelojotan

Oleh: Eep Saefullah Fatah

Rizki yang baik,

Saya ajak dan ingatkan Anda untuk gak cengeng soal isu agama ini. Saya sendiri mulai muak dengan banyak pendukung Ahok terus berkutat soal ini.

Begini cara kita melihat isu agama itu secara tak cengeng.

Jika dalam kontestasi berhadap-hadapan kandidat lelaki vs perempuan maka isu gender naik ke atas permukaan; kandidat dari suku ttt vs dari suku yang lain, isu kesukuan mencuat ke atas; kandidatnya beda agama maka isu agama mencuat. Ini sangat biasa dalam semua kontestasi di seluruh dunia. Kita sebut ini sebagai isu kontestasi antar-golongan.

Isu itu menjadi lebih intens jika isu kontestasinya berubah menjadi kontestasi mayoritas vs minoritas. Sentimen mayoritas gampang tersulut dan kalangan minoritas yang terdesak harus "kreatif" untuk bisa memenangkan kontestasi itu. Apakah ini persoalan khas Indonesia?

Bukan! Saat John F Kennedy berhadapan dengan Nixon dan memenangkan Pilpres AS (1960), Kennedy harus kreatif karena dia minoritas Katolik yang harus melawan Nixon yang mayoritas Protestan. Sama sekali gak mudah buat Kennedy untuk sampe ke Gedung Putih. (Bahkan sampe saat saya di Columbus, Ohio dulu, masih ada orang Katolik Amerika percaya bahwa Kennedy ditembak mati karena dia berasal dari agama minoritas).

Bagaimana dengan Ahok. Ahok harus berhadapan dengan fakta kontestasi minoritas-mayoritas itu. Isu agama bukan saja mencuat tapi intens, sebab ini bukan sekadar kontestasi antar-golongan. Harusnya dia kreatif kalo mau menang. Pernyataan Ahok di Pulau Seribu soal Al Maidah 51 itu -- terlepas perdebatan bahwa itu penistaan agama atau bukan -- adalah cara yang 180 derajat bertolak belakang dengan kebutuhan untuk kreatif itu.

Dengan kesembronoan tingkat dewa itu Ahok telah menjebol "bendungan sentimen agama" di Indonesia, bukan cuma di Jakarta. Jebolnya bendungan itu telah melahirkan kemarahan besar umat Islam. Kemarahan umat terbesar sepanjang sejarah Reformasi atau bahkan mungkin sejarah Indonesia modern. 

Pendukung Ahok selalu menyalahkan terjadinya banjir kemarahan umat ini tanpa mau introspeksi bahwa banjir ini terjadi karena Ahok menjebol bendungan itu! Apapun, kembali fokus ke diskusi kita, kesembronoan itu bertentangan secara diametral dengan kebutuhan creative campaign pihak Ahok.

Contoh lain. Membagi sembako dengan mengenakan baju kotak-kotak, didampingi orang-orang berbaju partai (bahkan di beberap tempat sambil diamankan oleh polisi), adalah kampanye yang melanggar keharusan untuk kreatif itu. Bahkan, itu bisa disebut sebagai kedunguan yang tak terperikan. Jangan salahkan orang lain -- apalagi lagi-lagi menyalahkan agama -- kalo dalam 4 hari terakhir menjelang 19/4/2017, basis pemilih Ahok tergerus dan terjadi penetapan pilihan (para undecided voters dan pemilih belum mantap) ke Anies-Sandi. Siapa yang bilang begini? Exit Poll PolMark Indonesia.

Ada hal lain selain isu kontestasi antar golongan dan minoritas-mayoritas itu, yaitu fakta bahwa Ahok adalah petahana, pejabat yang sedang berkuasa. Banyak (di atas 70%) orang Jakarta puas sama kerjanya tapi banyak di antara mereka  (di atas 50%) gak inginkan lagi dia sebagai Gubernur. Fakta ini sudah terlihat dari survei PolMark Indonesia Februari dan Juli 2016, jauh sebelum isu Al Maidah 51 dihadirkan Ahok ke atas meja kontestasi.

Kenapa begitu? Saya pake istilah Rizki soal "melayani" dan "baik". Anda bilang kan Anda ingin Gubernur yang melayani dan baik. Survei-survei kami memperlihatkan bahwa Ahok itu cenderung dianggap "melayani" tapi tidak dianggap "baik". Ketika soal "baik" dianggap lebih penting daripada "melayani", mampus lah dia (secara politik)  sebagai petahana. Ini hukum besi pemerintahan demokratis di mana saja. Pendukung Ahok jangan cengeng soal ini.

Sebagai penutup, saya mau kasih analogi tentang Ahok yang melayani tapi tidak baik itu. Ahok punya kewajiban membuatkan sarapan buat saya, dan saya berhak mendapatkan sarapan yang dia siapkan. Saya duduk di meja menunggu sarapan saya. Ahok datang. Sambil meletakkan piring makanan dan gelas minuman di depan saya, sambil melotot Ahok membentak saya: "Bangsat! Maling! Itu sarapan kamu! Makan situ!"

Rizki, sarapan itu hak saya. Menyiapkannya kewajiban Ahok. Dia penuhi kewajibannya. Saya terima haknya. Tapi dengan cara dia memenuhi hak saya seperti itu, wajar kalo saya mencari pengganti Ahok. Wajar juga kalo saya muak mendengar orang-orang yang mendukung Ahok (sang mantan penyedia sarapan saya), terus-menerus bilang: "Biadab si Eep itu karena mengeksploitasi isu sopan santun buat ngeganti Ahok!

Tabik!